Gajah Mada adalah seorang tokoh penting dalam sejarah kerajaan Majapahit. Ia adalah panglima perang dan mahapatih (perdana menteri) yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya pada abad ke-14.
Asal usul Gajah Mada masih belum jelas, ada beberapa versi yang berbeda tentang tempat dan tanggal kelahirannya. Namun yang pasti, ia memulai kariernya sebagai prajurit di kesatuan bhayangkara pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ia kemudian naik pangkat menjadi patih (menteri) setelah berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti. Ia menjadi mahapatih pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi dan Hayam Wuruk.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya yang disebut Sumpah Palapa, yang tercatat dalam kitab Pararaton. Dalam sumpahnya, ia bersumpah tidak akan memakan palapa (makanan yang berbumbu) sampai berhasil menyatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
Ia berhasil memenuhi sumpahnya dengan melakukan ekspansi militer ke berbagai wilayah seperti Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Salah satu peristiwa yang kontroversial dalam sejarah Gajah Mada adalah Perang Bubat, yaitu pertempuran antara pasukan Majapahit dan rombongan kerajaan Sunda yang datang untuk menghadiri pernikahan putri Sunda dengan Hayam Wuruk.
Perang ini berakhir dengan kematian seluruh rombongan Sunda karena Gajah Mada menganggap mereka sebagai tawanan perang.
Gajah Mada meninggal sekitar tahun 1364, tetapi tidak diketahui penyebab dan tempat kematiannya. Ia dihormati sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia dan simbol persatuan Nusantara.
Gajah Mada adalah seorang panglima perang yang terlibat dalam berbagai pertarungan untuk memperluas wilayah Majapahit. Salah satu pertarungan yang terkenal adalah pertarungan dengan Sunan Bejagung Lor di Tuban. Sunan Bejagung Lor adalah seorang wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Tuban.
Pertarungan ini bermula dari perintah Hayam Wuruk untuk menjemput putrinya, Kusumawardhani, yang berguru kepada Sunan Bejagung Lor¹. Hayam Wuruk tidak senang mengetahui hal itu dan mengutus Gajah Mada untuk menjemput putrinya.
Gajah Mada datang dengan pasukan gajah dan menyerang padepokan Sunan Bejagung Lor. Namun, Sunan Bejagung Lor ternyata memiliki ilmu kanuragan dan kesaktian yang tinggi.
Ia mampu mengubah pasukan gajah menjadi batu besar yang sampai sekarang masih ada di Tuban dan disebut sebagai watu gajah. Gajah Mada marah dan melanjutkan pertarungan dengan Sunan Bejagung Lor.
Keduanya saling adu kesaktian dengan berbagai cara, seperti memetik kelapa dari pohon yang melengkung hingga menyentuh tanah, atau mengambil ikan dari laut dalam keadaan hidup.
Pertarungan ini berakhir dengan kekalahan Gajah Mada. Ia akhirnya mengakui kesaktian Sunan Bejagung Lor dan meminta maaf atas serangannya.
Sunan Bejagung Lor pun memaafkan Gajah Mada dan mengizinkannya untuk menjemput Kusumawardhani. Ia juga memberikan nasehat kepada Gajah Mada agar tidak sombong dan menghormati agama lain. Pertarungan ini menunjukkan bahwa Gajah Mada tidak selalu menang dalam setiap peperangan, tetapi juga mampu mengakui kesalahannya dan belajar dari pengalamannya.
Inilah Kesaktian Gajah Mada
Kesaktian Gajah Mada adalah istilah yang mengacu pada berbagai kekuatan gaib yang konon dimiliki oleh Gajah Mada, seorang panglima perang dan mahapatih dari kerajaan Majapahit. Menurut beberapa sumber, seperti kuwaluhan.com¹ dan wikipedia, Gajah Mada memiliki beberapa kesaktian, antara lain:
- Ajian Saipi Angin, yaitu ilmu yang dapat membuat tubuhnya ringan dan cepat bergerak seperti angin.
- Aji Mundri, yaitu ilmu yang dapat membuat lawannya takut dan kagum padanya.
- Kebal terhadap senjata, yaitu ilmu yang dapat membuat tubuhnya tahan terhadap serangan fisik apapun.
- Ajian Gelap Ngampar, yaitu ilmu yang dapat membuat lawannya buta dan bingung dalam kegelapan.
- Ilmu Brajamusti, yaitu ilmu yang dapat membuat tangannya memiliki kekuatan besar dan mematikan.
- Ajian Rawarontek, yaitu ilmu yang dapat membuat tubuhnya tidak bisa mati atau luka.
Namun, kesaktian Gajah Mada tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga politik dan spiritual. Ia berhasil menyatukan Nusantara dengan sumpah Palapa, yang merupakan janji untuk tidak menikmati makanan enak sebelum mencapai tujuannya.
Ia juga dianggap sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia dan persatuan Nusantara oleh banyak orang. Ia juga dikisahkan menjadi pertapa di Madakaripura setelah Peristiwa Bubat, yang merupakan pertempuran tragis antara Majapahit dan Sunda.